Selasa, 14 Oktober 2014

Biografi dan pemikiran Ahmad Syafii Maarif


oleh Muliyadi Iwan dan Mitra Zalaman
1. Riwayat Hidup
Ahmad Syafii Maarif akrab dipanggil Syafii Maarif, dilahirkan di Sumpur Kudus, Sumatera Barat, Indonesia, pada tanggal 31 Mei 1935 dari pasangan bapak Marifah Rauf (1900-1955) dan ibu Fathiyah (1905-1937). Ia adalah anak bungsu dari empat orang bersaudara. Ayahnya adalah orang terpandang di Sumpur Kudus yaitu sebagai kepala suku Melayu dengan gelar Datuk Rajo Melayu dan merangkap sebagai kepala Nagari yang dijabatnya hingga 1946. Semasa kecil, ia hidup dalam lingkungan keluarga Islam yang tekun beribadah. Ia juga memiliki beberapa kegemaran, seperti: olah raga tenis meja, bulu tangkis, catur, menonton sepak bola dan menembak burung.
Pendidikan formal yang pernah ditempuh Syafii Maarif dimulai di tingkat dasar yaitu Sekolah Rakyat (SR) dan Madrasah Ibtidaiyah Sumpur Kudus (tamat 1947), kemudian masuk ke tingkat menengah pertama Madrasah Muallimin di Balai Tangah, Lintau, Sumatera Barat (1950-1953). Setelah itu, ia pindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan menengahnya di Mualimin Muhammadiyah (tamat 1956). Setelah itu, ia meneruskan pendidikan ke Universitas Cokroaminoto, Solo, dan meraih gelar sarjana muda pada jurusan Sejarah Budaya (1964). Gelar sarjana Sejarah ia peroleh di IKIP Yogyakarta (1968). Untuk menekuni ilmu sejarah, ia kemudian mengikuti program master di Departemen Sejarah Universitas Ohio, Amerika Serikat dan berhasil mengantongi ijazah Master (1980), dengan judul tesis: Islamic Politics under Guided Democracy in Indonesia (1959-1965). Atas jasa Amien Rais yang telah memperkenalkan dan memintakan rekomendasi kepada Fazlur Rahman, Syafii Maarif diterima di Universitas Chicago, dan berhasil meraih gelar doktor pada program studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat, dengan disertasi: Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia. Selama kuliah di Chicago, Syafii Maarif secara intensif juga aktif melakukan pengkajian al-Qur‘an, dibimbing langsung oleh seorang tokoh pembaharu pemikiran Islam yaitu Fazlur Rahman. Di sana pula, ia sering terlibat diskusi dengan beberapa tokoh Indonesia seperti Nurcholish Madjid (Alm.) dan Amien Rais yang juga sedang mengikuti program doktornya.
Aktivitas yang pernah dilakoni Syafii Maarif sebagian besar bergelut di dunia akademik, antara lain: mengajar di PGA Muhammadiyah di Lombok Timur selama satu tahun (1956-1957), menjadi asisten dosen untuk mengajar Sejarah Indonesia Kuno di FKIS IKIP Yogyakarta (sekarang UNY) dan asisten Sejarah Islam di UII Yogyakarta (1967), Guru Besar Filsafat Sejarah di IKIP Yogyakarta (1997), dan Dosen Pascasarjana IAIN Yogyakarta. Ia juga pernah tercatat sebagai dosen tamu untuk mengajar mata kuliah Sejarah Perang Salib dan Islam dan Perubahan Sosial di Asia Tenggara di Universitas Kebangsaan Malaysia (1990-1992), dan pernah menjadi anggota Kelompok Pemikir Masalah Agama Departemen Agama (1984). Selain itu, ia juga pernah aktif dalam berbagai organisasi seperti: Anggota Muhammadiyah (1955), Anggota HMI (1957-1968), Pengurus HMI Surakarta (1963-1964), Pejabat Sementara Ketua Umum PP Muhammadiyah, dan menjabat Ketua Umum PP Muhammadiyah selama tujuh tahun (1998-2005).
Di sela-sela kesibukannya, ia tetap aktif menulis, di samping menjadi pembicara dalam sejumlah seminar, baik dalam maupun luar negeri. Sampai akhir tahun 2005, ia telah mengunjungi sejumlah negara untuk menjadi pemakalah, tenaga pengajar, ataupun sebagai tamu undangan, di antaranya: Amerika Serikat, Singapura, Malaysia, Thailand, Pakistan, India, Iran, Iraq, Jordan, Malata, Libia, Inggris, Belanda, Australia, Saudi Arabia. Tulisan-tulisannya, sebagian besar menyangkut persoalan-persoalan pemikiran keislaman dan telah dipublikasikan di sejumlah media cetak seperti: majalah Panji Masyarakat, Suara Muhammadiyah, Genta dan SKH Kedaulatan Rakyat Yogyakarta. Selain itu, ia juga pernah menjadi korektor dan redaktur majalah Suara Muhammadiyah dan sekaligus dipercayakan mengurus iklan majalah hingga 1972 di bawah pimpinan alm. H.A.Basuni.
Kini, dalam usia senjanya, Syafii Maarif tidak lagi memiliki kedudukan atau jabatan formal, baik sebagai Ketua PP Muhammadiyah maupun sebagai PNS (dosen). Namun, sebagai sosok intelektual muslim yang memiliki komitmen kebangsaan, kritis, tegas, dan bersahaja, undangan sebagai pembicara dari berbagai kalangan dan  beragam latar belakang masih terus mengalir. Saat ini, ia bersama istrinya Ny. Hj. Nurkhalifah dan anak semata wayangnya, Mohammad Hafiz, tetap menikmati hari-harinya. Ia berharap di sisa akhir hidupnya, mampu menghasilkan karya besar tentang Islam dan kemanusiaan, dan akan menjadi sumbangan besar bagi peradaban manusia.      
1.      Pemikiran
Pola pemikiran Syafii Maarif banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Fazlur Rahman setelah mengalami “pencucian otak” melalui kuliah dan berbagai diskusi bersama Fazlur Rahman di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Aspek pemikiran Syafii Maarif yang perlu diketengahkan dalam portal ini, adalah: pemikirannya tentang Islam, hubungan Islam dan negara, toleransi inter dan antar agama, posisi perempuan dalam politik, dan perkawinan monogami dan poligami.
a.      Pandangan Syafii Maarif tentang Islam
Islam bagi Syafii Maarif adalah sumber moral dan utama. Alquran adalah Kitab Suci untuk memandang dunia secara jelas dan sebagai pedoman dan acuan tertinggi dalam semua hal.
b.      Hubungan Islam dan Negara (Indonesia)
Dalam kesempatan ini, penulis akan mendedahkan pandangan Ahmad Syafii Maarif tentang hubungan Islam dan negara. Diskusi mengenai tema ini mencakup dua aspek, yakni aspek normatif  dan aspek historis. Dengan mendiskusikannya, diharapkan dapat memperjelas bagaimana sesungguhnya relasi Islam dan negara.
Menurut Ahmad Syafii Maarif, secara doktrinal, Islam tidak menetapkan dan menegaskan pola apapun tentang teori negara Islam yang wajib digunakan oleh kaum Muslim. H.A.R. Gibb seperti dikutip Buya Ahmad Syafii Maarif, memaparkan bahwa baik Al-Qur’ân maupun Sunnah tidak memberikan petunjuk yang tegas tentang bentuk pemerintahan dan lembaga-lembaga politik lainnya sebagai cara bagi umat untuk mempertahankan persatuannya.[1]
Terminologi “kerajaan Islam”, “kesultanan Islam” atau “monarkhi Islam” menurut Buya Syafii Maarif  sebenarnya bersifat kontradiktif  di dalamnya. Monarkhi, kesultanan, dan seterusnya tidak secara otomatis dapat menjadi Islam kendatipun menggunakan embel-embel nama Islam. Ia juga mengkritik gagasan negara Islam. Menurutnya, gagasan negara Islam tidak memiliki basis religio-intelektual yang kukuh, yang berbicara secara teoretik. Terminologi negara Islam tidak ada dalam kepustakaan Islam klasik. Dalam Piagam Madinah pun, terminologi ini tidak ditemukan. Gagasan negara Islam (daulatul-islâmiyyah), menurutnya, merupakan fenomena abad ke-20. Kendati demikian, Islam sangat membutuhkan mesin negara
untuk membumikan cita-cita dan ajaran-ajaran moral.[2] Al-Qur’ân yang penuh dengan ajaran imperatif moral, lanjutnya, tidak diragukan lagi sangat membutuhkan negara sebagai institusi “pemaksa” bagi pelaksanaan perintah dan ajaran moralnya.[3]
Argumentasi Buya Syafii Maarif  ini berangkat dari asumsi bahwa Islam bukanlah sekedar cita-cita moral dan nasihat-nasihat agama yang lepas begitu saja. Islam membutuhkan sarana sejarah untuk mewujudkan cita-cita moralnya yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Sarana yang dimaksud Buya Ahmad Syafii Maarif tidak lain adalah negara. Oleh karenanya, ia menolak pandangan yang menghendaki pemisahan Islam dan negara. Menurutnya, di samping tidak memiliki basis teoretis yang kuat, pendapat seperti itu dalam waktu yang panjang akan berakhir menjadi kerja bunuh diri.
Buya Ahmad Syafii Maarif menganggap bahwa semua aspek kehidupan tidak dapat ditempatkan dalam kategori yang dikotomis, antara ibadah dan kerja sekuler.[4] Dalam hal ini, ia sepakat dengan pandangan Ibnu Taimiyyah dalam kitab as-siyâsi as-syar’iyyah yang mengemukakan bahwa negara (kekuasaan politik) merupakan sesuatu yang penting bagi agama. Tanpa adanya negara, agama tidak akan tegak dengan kukuh. Ibnu Taimiyyah menuturkan bahwa Allah mewajibkan amar ma’ruf nahî munkar, jihad, keadilan, menegakkan hudûd, dan semua hal yang Allah wajibkan. Hal itu tidak mungkin terealisasi dengan sempurna tanpa kekuatan dan kekuasaan.[5]
Menariknya, sekalipun menyerukan pentingnya negara bagi Islam, tetapi Buya Ahmad Syafii Maarif menolak tesis yang mengatakan bahwa Islam adalah dîn dan daulâh. Sebagaimana telah penulis singgung di muka, tidak ditemukan landasan yang kuat bahwa Islam adalah dîn dan daulâh, baik di dalam Al-Qur’ân, Hadis, maupun Piagam Madinah. Apabila Islam merupakan dîn sekaligus daulâh, maka secara otomatis menempatkan sejajar antara agama dengan negara. Dengan demikian mereka yang meyakini Islam sebagai dîn sekaligus daulâh secara tidak sadar menempatkan alat dengan risalah. Ia menilai tesis yang mengatakan bahwa Islam itu agama sekaligus negara sebagai kekeliruan serius. Hal ini lantaran agama adalah sesuatu yang immutable (tetap), sementara negara adalah sesuatu yang mutable (berubah) sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu. Dengan menempatkan negara selevel dengan posisi negara berarti mereka mengagungkan negara sama halnya dengan mengagungkan agama.[6] Inilah yang menjadi kekhawatiran Ahmad Syafii Maarif.
Menurut Buya Ahmad Syafii Maarif, posisi Nabi Muhammad dalam Al-Qur’ân hanyalah sebagai Rasul. Kendatipun tak dapat dipungkiri dalam rekaman historis, beliau pernah menjadi pemimpin agama sekaligus pemimpin negara. Posisinya sebagai Rasul Allah tidak pernah berubah sampai beliau wafat pada 632 M. Kedudukan Nabi Muhammad sebatas Rasul Allah termaktub juga dalam Q.S. Surat Ali Imran: 144. Statemen Al-Qur’ân bahwa “Muhammad hanyalah seorang Rasul” inilah yang kemudian yang dijadikan argumentasi Buya Ahmad Syafii Maarif  untuk menolak tesis bahwa “Islam adalah agama dan negara”. Bagi Buya Syafii Maarif, tesis bahwa “Islam merupakan agama dan negara” mengaburkan hakikat yang sebenarnya dari posisi kenabian Muhammad SAW.[7]
Perspektif  Buya Ahmad Syafii Maarif  tentang relasi Islam dan negara di atas pastinya berseberangan dengan pendapat para pengusung negara Islam dan formalisasi Syariat Islam. Hal ini karena bagi mereka, Islam adalah agama sekaligus n e g a r a . M a k a p e n d i r i a n n e g a r a I s l a m d a n p e m b e r l a k u a n S y a r i a t I s l a m merupakan perintah Tuhan yang wajib dilakukan dan dipandang sebagai amal saleh.[8] Hal ini misalnya dapat ditilik dari pernyataan Muhammad Ismail Yusanto, Juru Bicara HTI, yang menganggap pendirian negara Islam sebagai tuntutan akidah Islam.[9]
Menurut Buya Ahmad Syafii Maarif, aspirasi menjadikan Islam sebagai dasar negara yang dilakukan para tokoh Islam di masa kemerdekaan jika dikaji lebih mendalam sesungguhnya tidak jelas aspirasi Islam yang diperjuangkannya. Di matanya, tidak gambang menempatkan Syariat Islam ke dalam mekanisme kehidupan politik modern. Ia mencontohkan Pakistan sebagai negara Islam yang sampai sekarang masih bingung menerapkan Syariat dalam kehidupan kenegaraannya.  Dalam konteks ini, ia mengkritik para tokoh Islam masa lampau yang menurutnya lebih mengutamakan wadah, yaitu menegakkan negara berdasarkan Islam secara formal.[10]

Ketika pertama kali mengikuti kuliah Fazlur Rahman di Chicago, Syafii Maarif pernah berkata: “Professor Rahman, please give me one fourth of your knowledge of Islam, I will convert Indonesia into an Islamic state”. Namun, setelah mengikuti kuliah selama beberapa bulan, kalimat itu tidak pernah lagi diucapkan karena sebutan negara Islam itu tidak diperlukan lagi. Yang terpenting adalah moral Islam harus dijadikan sebagai dasar perilaku bagi masyarakat, jika memang Indonesia ingin menjadi sebuah negeri yang adil dan makmur. Adapun perangkat hukum-hukum Islam, dapat dikawinkan dengan sistem hukum nasional melalui proses demokratisasi. Ia mengacu pada istilah Hatta yang berbunyi “janganlah gunakan filsafat gincu, tampak tetapi tak terasa; pakailah filsafat garam, tak tampak tapi terasa,”. Artinya, negara Indonesia adalah sebuah negara yang berasaskan pancasila (bukan Islam), akan tetapi nilai-nilai moral Islam harus selalu diketengahkan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat; meskipun “negara Islam” tidak tampak, tapi moral Islam tetap dijalankan.

c.       Toleransi inter dan antar agama

Syafii Maarif mengakui bahwa ia mampu hidup berdampingan dengan pemeluk agama apapun, bahkan dengan seorang atheis dengan syarat masing-masing pihak saling menghormati secara tulus dan siap untuk hidup berdampingan secara damai di muka bumi di atas prinsip: ”Bersaudara dalam perbedaan, dan berbeda dalam persaudaraan”. Pemahamannya ini didasarkan pada Alquran dalam surah al-Baqarah: 256 dan surat Yunus: 99. Baginya planet bumi ini bukan hanya untuk satu pemeluk agama saja, tetapi untuk semua. Semuanya punya hak yang sama untuk hidup dan memanfaatkan kekayaan bumi ini di atas keadilan dan toleransi.
d.      Posisi perempuan dalam politik

Pendangan Syafii Maarif tentang masalah kepemimpinan perempuan ini berdasarkan pada Alquran surat al-Hujurat: 3 dan ayat-ayat lain yang saling mendukung, yaitu berisi tentang terbukanya pintu kemuliaan di sisi Allah buat mereka yang paling taqwa, laki-laki maupun perempuan. Seorang Muslim laki-laki dan perempuan yang bertaqwa dijamin oleh ayat ini untuk meraih kemuliaan di sisi Allah, asal diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Posisi pemimpin, laki-laki maupun perempuan, akan menjadi mulia di mata rakyat jika ia bertaqwa dengan menegakkan keadilan dan siap bekerja keras untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bersama tanpa pilih kasih. Menurutnya, pemimpin perempuan yang ideal harus memenuhi syarat yaitu: memiliki kemampuan prima, bermoral, dan akan lebih baik pasca usia 40 tahun, pada saat ia sudah banyak waktu untuk berkiprah di bidang politik. Syarat lain yang harus dipenuhi adalah izin suami, sekiranya ia masih bersuami.
e.       Sistem perkawinan monogami atau poligami
Syafii Maarif berkeyakinan bahwa sistem perkawinan yang benar menurut Alquran adalah monogami. Poligami dibuka pada saat-saat yang sangat terpaksa dengan syarat-syarat yang berat. Secara tersirat, dalam Alquran surat Annisa: 3 terkesan selintas dibolehkan beristri lebih dari satu. Tetapi, kesan itu akan berguguran jika dihubungkan dengan ayat 129 pada surat yang sama. Kalau ayat 3 mensyaratkan berlaku adil terhadap istri-istri, namun ayat 129 menegaskan bahwa keadilan itu tidak mungkin, sekalipun sang suami ingin sekali berbuat adil. Dengan memadukan kedua ayat ini, maka ia menyimpulkan bahwa perkawinan dalam Islam adalah monogami, poligami hanya pada kasus-kasus yang sangat darurat.
2
.      Karya-karya
Sebagai sosok intelektual Islam, Syafii Maarif telah melahirkan beberapa karya berupa buku yang telah dipublikasikan, yaitu:
  1. Mengapa Vietnam Jatuh Seluruhnya ke Tangan Komunis, diterbitkan oleh Yayasan FKIS-IKIP Yogyakarta (tahun 1975).
  2. Dinamika Islam, diterbitkan oleh Shalahuddin Press (tahun 1984).
  3. Islam, Mengapa Tidak?, diterbitkan oleh Shalahuddin Press (tahun 1984).
  4. Percik-Percik Pemikiran Iqbal (bersama M. Diponegoro), diterbitkan oleh Shalahuddin Press (tahun 1984).
  5. Islam dan Masalah Kenegaraan, diterbitkan oleh LP3ES (tahun 1985).
  6. Titik-Titik Kisar di Perjalananku: Otobiografi Ahmad Syafii Maarif, diterbitkan oleh Ombak di Yogyakarta (tahun 2006). 
  7. Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin(1959-1965),/ Jakarta: Gema Insani Press (1996).





[1] Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 1985), hal. 20
[2] Ahmad Syafii Maarif, Islam: Kekuatan Doktrin dan Kegamangan Umat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hal. 60-62
[3] Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Ter pimpin (1959-1965), (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal. 193.
[4] Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik…, hal. 194.
[5] Ibid., hal. 133.
[6] Ibid., hal. 195-196
[7] Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah.., hal. 14-1
[8] Adian Husaini, “Syariat Islam di Indonesia..., hal. 65.
[9] Sigit Kamseno, “Komprehensivisme Dîn al-Islâm: Kritik atas Konsep Kulturalisme dan Strukturalisme Islam”, Jurnal Politik Islam, Vol. 1, No. 2, 2006, hal. 164.
[10] Ahmad Syafii Maarif, “Islam di Masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin”, Prisma No. 5, Tahun XVIII, 1988, hal. 26.


Follow @ajo_mizal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar