Selasa, 14 Oktober 2014

Kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda terhadap Etnis Tionghoa 1900-1942.

Tulisan ini adalah hasil karya original dari Mitra Zalaman bagi yang ingin mengutipnya jangan lupakan cantumkan sumbernya. follow @ajo_mizal




Pendahuluan
Menurut Onghokham[1], salah satu sejarahwan terkemuka Indonesia, masyarakat Tionghoa bukanlah kelompok yang homogen; mereka begitu beragam hampir seperti kepulauan Indonesia. Masyarakat etnis Cina di Jawa datang sebagai perorangan, atau dalam kelompok kecil, mereka tiba di sini sebalum kedatangan bangsa Eropa. Sebagian besar kaum migran ini menyatu dengan masyarakat lokal sehingga masyarakat etnis Cina di Jawa sekarang ini tidak lagi bisa berbicara bahasa Mandarin. Sedangkan, di Kalimantan Barat, di Pulau Kalimantan, dan Pesisir Timur Sumatera, masyarakat etnis Cina bermigrasi dalam kelompok besar untuk bekerja di perkebunan dan di tambang timah. Masyarakat etnis Cina di daerah ini tetap mempertahankan bahasa mereka. Di Sulawesi Utara dan di pulau Maluku mereka dengan sendirinya berasimilasi dengan masyarakat lokal. Selain berasal dari daerah yang berbeda, masyarakat etnis Cina menganut beragam agama di Indonesia, Kristen, Kataolik, Buddha, Kong Hu Cu, dan Islam.
Dalam tahun-tahun pertumbuhan Nasionalisme Indonesia pada awal abad ini, kata bangsa (ras) digunakan untuk menunjukan pengertian nasion. Kebanyakan kaum Nasionalis Indonesia berpikir bahwa bangsa Indonesia itu meliputi anggota-anggota dari berbagai suku bangsa atau pribumi (asli). Dengan begitu sama luasnya dengan suatu bagian dari penduduk Hindia yang menurut pemerintah Belanda digolongkan sebagai pribumi (inlander). Etnis Tionghoa, yang dengan sedikit pengecualian digolongkan sebagai ‘’Timur Asing’’ (Vreemde Oosterlingen), dipandang oleh orang Indonesia sebagai suatu bnagsa tersendiri.[2]     
Kehadiran dan keberatian orang Tionghoa ditengah-tengah masyarakat Indonesia merupkan suatu kenyataan kehadiran ini berlangsung sekian keturunan, sedangkan keberartiannya dapat diukur dari perlakuan masyarakat sekitarnya terhadap mereka. Jarang yang bersikap acuh tak acuh; malahan terlihat sikap yang cenderung bersifat ekstrem; atau menyayangi mereka atau membencinya. Sikap ekstrem ini juga tidak tetap pada orang atau golongan yang sama; dalam keadaan tertentu disenangi; dalam keadaan lain dibenci
Pendeknya, terdapat suatu sikap yang tidak menentu terhadap golongan ini, yang juga terlihat pada badan-badan pemerintah seperi tercermin pada kebijaksanaan-kebijaksanaannya serta peraturan-peraturanya, dari zaman kolonial sampai kini.
Pembatasan tahun pada judul dikarenakan perubahan arah politik Hindia belanda  yang  Sebelum tahun 1901, politik Kolonial Belanda hanya mementingkan tututan ekonomi, sehingga penghisapan kekayaan Hinddia Belanda selama ini dilakukan sama sekali tanpa memperhitungkan kepentingan rakyat Hindia belanda sendiri, sesudah tahun 1900 Pemerintah Hindia Belanda secara praktis memperhatikan kewajiban moral Belanda terhadap rayat Hindia Belanda[3]
Dalam artikel ini penulis akan mengungkap berbagai kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang menyangkut etnis Tionghoa yang penulis temukan dari berbagai sumber yang diantaranya: pemisahan pendidikan bedasarkan Ras dan pemisahan tempat tinggal masyarakat Tionghoa dengan masyarakat pribumi.
Pemisahan pendidikan
Pemerintah Hindia Belanda mendirikan sekolah-sekolah untuk anak-ank Tionghoa. Sekolah ini dengan sepenuhnya menerapkan sistem pendidikan Barat dan dengan bahasa pengantar bahasa Belanda sekolah yang didirikan tahun 1908 ini diberi nama Hollandch Chineesche Schooll, yang disingkat HCS[4]. Dengan di bukanya HCS maka sekolah-sekolah Belanda yang muridnya dikotak-kotak bedasarkan ras, sesuai dengan politik segregrasi pemerintah Kolonial Belanda, kini telah mengarah ke sistem pendidikan  Belanda tingkat lanjutan. Dengan begitu, sudah tidak ada kendala bagi lulusan sekolah-sekolah tersebutbuntuk memasuki sekolah lanjutan yang lebih tinggi.[5]
Di atas tingkatan HCS, pemisahan bedasarkan Ras dalam pendidikan sudah tidak ada lagi. Mungkin pemerintah Kolonial Belanda menganggap dalam level ini, muirid-murid tersebut telah sepenuhnya mereka kuasai. Pada tahun 1914 sekolah-sekolah’’Meer Uitgebreid Larger Onderwijs’’`(MULO) atau pendidikan rendah yang diperpanjang atau SLTP didirikan untuk orang-orang Belanda, Pribumi golongan atas, dan Tionghoa yang telah menyelesaikan sekolah dasar mereka. Pada tahun 1919 didirikan ‘’Algemeene Middelbare School’’ (AMS) semacam SLTA, bagi murid-murid yang telah menyelesaikan Sekolah di MULO dan ingin melanjutkan pedidikanya ke peguguruan tinggi.[6]  
HCS secara praktis merupakan sekolah Belanda untuk golongan etnis Cina  hanya saja, tak satu pun orang Cina yang bersekolah di situ. Di samping itu orang-orang Cina diizinkan memasuki sekolah-sekolah Indonesia (HIS) dan Belanda. Sekolah HCS dan HIS sama saja, kecuali berbeda landasan etnisnya, program pendidikannya sepenuhnya berorientasi Belanda.  Akan tetapi batas perbedaan antara orang Cina yang memasuki HCS dan THHK[7] tampaknya lebih bersifat sosial daripada budaya atau politik. Untuk dapat memasuki HCS para orang tua perlu mempunyai pendapatan minimum 50 gulden sebulan, yang tidak semua orang Cina mampu menyediakannya. Pendirian sekolah HCS pada tahun 1908 menunjukkan semangat damai pemerintah Kolonial terhadap keluhan orang-orang Cina. Satu demi satu maslah-masalah Cina diselesaikan oleh pemerintah Kolonial.[8]
Pada masa sesudah kemerdekaan pendidikan Anak-anak peranakan Cina mendapatkan Acuan baru yang memasuki sekolah berbahasa pengantar (SBP) Indonesia. Dengan memberi anak-anak ini model budaya yang baru sekolah-sekolah itu telah membantu menciptakan suatu identitas budaya yang baru dikalangan generasi peranakan Cina paska kemerdekaan. Dalam banyak hal, identitas budaya ini sangat berbeda dari identitas para orang tua mereka yang dibesarkan dalam era Kolonial, tatkala  sistem pendidikan Belanda memberikan dampak yang besar[9]
Antara 1950 dan 1966 SBP Cina swasta menawarkan suatu alternatif pendidikan bagi anak-anak peranakan Cina yang orang tuanya  cenderung tidak suka  mengirimkan mereka ke SBP Indonesia. SBP Cina sangat berkiblat ke Cina daratan dan kebudyaan Cina dan dengan demikian mempromosikan nilai-nilai budaya dan politik yang berbida dari SBP Indonesia. Akibatnya, homogenitas budaya yang tampak dibina antara peranakan Cina  semasa pendudukan Jepang sebagian besar buyar, dan terciptalah suatu perbedaan yang mencolok antara pemuda peranakan Cina yang belajar di SBP Cina dengan mereka yang belajar di SBP Indonesia. Kebijkan pemerintah Indonesia pada tahun 1957 dan 1966 telah membantu membangkitkan eksodus para pelajar Cina ke Cina daratan. Kebanyakan para pelajar ini berasal dari SBP Cina.[10]  
Sejak 1966 semua anak WNI Cina yang berempat tinggal di Indonesia diharuskan memasuki sekolah-sekolah yang mengajarkan orientasi politik yang sama. Di semua sekolah Indonesia baik negri maupun swasta, pelajran ‘’Pendidikan Moral Pancasila’’ wajib diajarkan sejak 1966. Suatu sistem pendidikan yang seragam dapat berbuat banyak dalam menciptakan suatu identitas nasional yang sama di kalangan penerimanya yang dalam hal ini adalah peranakan Cina dan pemuda pribumi Indonsia. Namun, sama sekali bukanlah suatu kesimpulan yang pasti apakah loyalitas penuh terhadap identitas ini  dapat dipertahankan melalui sistem pedidikan saja. Pengaruh-pengaruh kuat lainya di dalam masyarakat, seperti Agama, lingkungan keluarga, penerimaan sosial oleh komonitas yang lebih besar, dan efek positif maupun negatif  dari berbagai kebijakan pemerintah dapat melemahkan atau mengikis pengaruh pendidikan sekolah.[11]   
Pemisahan Tempat Tinggal
Pemukiman kecil orang Cina sudah ada di Indonesia jauh sebelum kedatangan orang Eropa, terutama di Bandar-bandar perdagangan  di sepanjang pantai utara pulau jawa. Ketika Belanda mementapkan kedudukannya di Indonesia penduduk Cina bertambah banyak dan tersebar luas. Perubahan pesat terjadi ketika para imigran Cina datang seiiring dengan meningkatnya kegiatan Belanda.[12]
Pemerintah kolonial Belanda telah membuat orang Tionghoa menjadi suatu golongan tersendiri mereka tercerai dari golongan Bumiputera, tercerai dari golongan Belanda, tercerai dari golongan Indo-Belanda, tercerai dari golongan bangsa asing yang lain-lainnya. Sebab politik jajajahan yang dijalankan selalu memisah suatu golaongan dengan golongan yang lainnya[13]
Sebagian besar imigran  Tionghoa yang menetap di kepulauan Nusantara sebelum kekuasaan Kolonial Belanda berdiri terserap kedalam masyarakat setempat akan tetapi pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 asimilasi dengan masyarakat setempat benar-benar mustahil bagi orang-orang Tionghoa. Hal ini terutama karena struktur masyarakat Kolonial dan kebijakan ‘’apartheid’’ Belanda.[14]
 Di Hindia Belanda,  penduduk dibagi kedalam tiga kelompok ‘’ras’’ dengan privelse dan hak-hak hukum yang berbeda: orang-orang Eropa di tingkat paling atas, orang timur asing (terutama Tionghoa)  di tingkat menengah dan orang-orang ‘’Pribumi’’ di tingkat paling bawah . inilah awal terciptanya sterotip tentang orang Tionghoa  sebagai kelompok yang ‘’homogen’’. Sebelum akhir abad ke-19, sekelompok orang Tionghoa mendapatkan hak-hak istimewa untuk memonopoli kegiatan-kegiatan bisnis yang menguntungkan tetapi ‘’amoral’’ misalnya seperti penjualan opium dan pengoperasian tempat-tempat perjudian dan pengadaian. Hak-hak istimewa yang diberikan kepada sekelompok orang Tinghoa ini turut andil dalam pembentukan sterotip bahwa orang Tionghoa mendomonasi ekonomi.[15] Hal tersebulah yang membuat kebencian terhadap etnis Tionghoa. Morfologi pemukiman ini kemudian semakin berkembang sejak masa kolonial Belanda terutama ketika diterapkanya sistem tiga kelas masyarakat (Eropa,Timur,dan Bumiputera) sehinnga terbebtuk pola pemukiman yang juga terbagi atas tiga segmen tersebut.[16]
Dengan kondisi seperti ini, bagi orang Tionghoa berasimilasi dengan masyarakat Pribumi berarti merendahkan status sosial mereka serta bisa kehilangan hak-hakistimewa. Kebebcian yang tersebar luas yang disebabkan oleh berbagai kebijakan Belanda memisah-misahkan kelompok-kelompok masyarakat.[17]

Kesimpulan
Kebijakan pemerintah Kolonial Belanda terhadap Etnis Tionghoa membeikan dampak yang sangat signifikan terhadap perkembangan Masyarakat Tionghoa Saat ini, kebijakan pemisahan Sekolah bedasarkan Etnis telah membuat mayarakat Tionghoa semaki jauh dengan Pribumi dan membuat etnis Tionghoa lebih condong kepada negri nenek monyangnya  yang menjadi masalah disini adalah etnis Tionghoa berada di pusan mayoritas masyarakat Pribumi.
 Kebijkan yang membuat  sebagian Tionghoa mendapatkan hak-hak istimewa untuk memonopoli kegiatan-kegiatan bisnis yang menguntungkan tetapi ‘’amoral’’ misalnya seperti penjualan opium dan pengoperasian tempat-tempat perjudian dan pengadaian kebijakan tersebut telah meletakan dasar bagi suksesnya usaha etnis Tionghoa hingga saat ini





Daftar Pustaka
Chang-yau, hoon, identitas Tionghoa pasca-Suharto-budaya, politik dan media, Jakarta: LP3ES, 2005.
I. Wibowo (Edtr), Haarga yang harus dibayar sketsa pergulatan etnis Cina di Indonesia,Jakarta: Pt Garamedia Pustaka Utama, 2000.Leo Suryadinata,(edtr)  pemikiran politiketnis etnis Tionghoa Indonesia 1900-1942,  Jakarta: LP3ES, 2005.
Jennifer Cushman & Wang Gungwu,(edtr), Perubahan  identitas Orang Cina di Asia Tenggara, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991.
A, Coppel, Charles, Tionghoa Indonesia dalam krisis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994.
Suryadinata Leo(edtr), Pemikiran Politik etnis Tionghoa Indonesia, Jakarta: LPEES, 2005.
Widyahartono, Bob, Kongsi dan Sepekulasi jaringan kerja bisnis Cina, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989.
G. Tan, Mely,(edtr) Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia: suatu masalah pembinaan kesatuan Bangsa, Jakarta: Gramedia, 1981..  
Setiono Benny G., Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta: TransMedia, 2008.
Onghokham, Anti Cina, kapitalisme Cina dan Gerakan Cina. Sejarah etnisitas Cina di Indonesia, Jakarta: Komonitas Bambu, 2008.
Mona, Lohanda, Sejarah pembesar mengatur Batavia, Jakarta: masup Jakarta, 2007.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30248/3/Chater%20II.pdf


[1] Justian Suhandinata, WNI Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Ekonomi dan Politik
Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2008, hal. 10.
[2] Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia dalam krisis, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan,1994,hal. 23.
[3] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda ,Jakarta: LP3S, 1985 hal. 99.
[4] Benny G. setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta:TransMedia, 2008. Hal 312.
[5] Ibid. hal 336.
[6] Ibid. hal 337
[7] Tionghoa Hwe Koan sebuah organisasi Cina yang bertujuan untuk memajukan pendidikan Etnis Cina, liahat. Benny G. setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta:TransMedia, 2008.
[8] Onghokham, Anti Cina, kapitalisme Cina dan Gerakan Cina. Sejarah etnisitas Cina di Indonesia, Jakarta: Komonitas Bambu, 2008. hal 160.
[9] Jennifer Cushman & Wang Gungwu,(edtr) Perubahan  identitas Orang Cina di Asia Tenggara, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 199. hal  148
[10] Ibid, hal 148.
[11] Ibid, hal 149.
[12] I. Wibowo (Edtr), Haarga yang harus dibayar sketsa pergulatan etnis Cina di Indonesia,Jakarta: Pt Garamedia Pustaka Utama, 2000. hal 194-165.
[13] Leo Suryadinata,(edtr)  pemikiran politiketnis etnis Tionghoa Indonesia 1900-1942,  Jakarta: LP3ES, 2005. hal  49-50.
[14] Chang-yau, hoon, identitas Tionghoa pasca-Suharto-budaya, politik dan media, Jakarta: LP3ES, 2005. hal  26.
[15] Ibid hal 26
[16] Op cit I. Wibowo, hal 197-198
[17] Ibdi hal 27.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar