Tulisan ini adalah hasil karya original dari Mitra Zalaman bagi yang ingin mengutipnya jangan lupakan cantumkan sumbernya. follow @ajo_mizal
Pendahuluan
Menurut
Onghokham[1],
salah satu sejarahwan terkemuka Indonesia, masyarakat Tionghoa bukanlah
kelompok yang homogen; mereka begitu beragam hampir seperti kepulauan
Indonesia. Masyarakat etnis Cina di Jawa datang sebagai perorangan, atau dalam
kelompok kecil, mereka tiba di sini sebalum kedatangan bangsa Eropa. Sebagian
besar kaum migran ini menyatu dengan masyarakat lokal sehingga masyarakat etnis
Cina di Jawa sekarang ini tidak lagi bisa berbicara bahasa Mandarin. Sedangkan,
di Kalimantan Barat, di Pulau Kalimantan, dan Pesisir Timur Sumatera,
masyarakat etnis Cina bermigrasi dalam kelompok besar untuk bekerja di
perkebunan dan di tambang timah. Masyarakat etnis Cina di daerah ini tetap
mempertahankan bahasa mereka. Di Sulawesi Utara dan di pulau Maluku mereka
dengan sendirinya berasimilasi dengan masyarakat lokal. Selain berasal dari
daerah yang berbeda, masyarakat etnis Cina menganut beragam agama di Indonesia,
Kristen, Kataolik, Buddha, Kong Hu Cu, dan Islam.
Dalam
tahun-tahun pertumbuhan Nasionalisme Indonesia pada awal abad ini, kata bangsa
(ras) digunakan untuk menunjukan pengertian nasion. Kebanyakan kaum Nasionalis
Indonesia berpikir bahwa bangsa Indonesia itu meliputi anggota-anggota dari
berbagai suku bangsa atau pribumi (asli). Dengan begitu sama luasnya dengan
suatu bagian dari penduduk Hindia yang menurut pemerintah Belanda digolongkan
sebagai pribumi (inlander). Etnis Tionghoa, yang dengan sedikit pengecualian
digolongkan sebagai ‘’Timur Asing’’ (Vreemde Oosterlingen), dipandang oleh
orang Indonesia sebagai suatu bnagsa tersendiri.[2]
Kehadiran
dan keberatian orang Tionghoa ditengah-tengah masyarakat Indonesia merupkan
suatu kenyataan kehadiran ini berlangsung sekian keturunan, sedangkan
keberartiannya dapat diukur dari perlakuan masyarakat sekitarnya terhadap
mereka. Jarang yang bersikap acuh tak acuh; malahan terlihat sikap yang
cenderung bersifat ekstrem; atau menyayangi mereka atau membencinya. Sikap
ekstrem ini juga tidak tetap pada orang atau golongan yang sama; dalam keadaan
tertentu disenangi; dalam keadaan lain dibenci
Pendeknya,
terdapat suatu sikap yang tidak menentu terhadap golongan ini, yang juga
terlihat pada badan-badan pemerintah seperi tercermin pada kebijaksanaan-kebijaksanaannya
serta peraturan-peraturanya, dari zaman kolonial sampai kini.
Pembatasan
tahun pada judul dikarenakan perubahan arah politik Hindia belanda yang Sebelum tahun 1901, politik Kolonial Belanda
hanya mementingkan tututan ekonomi, sehingga penghisapan kekayaan Hinddia
Belanda selama ini dilakukan sama sekali tanpa memperhitungkan kepentingan
rakyat Hindia belanda sendiri, sesudah tahun 1900 Pemerintah Hindia Belanda
secara praktis memperhatikan kewajiban moral Belanda terhadap rayat Hindia
Belanda[3]
Dalam
artikel ini penulis akan mengungkap berbagai kebijakan Pemerintah Hindia
Belanda yang menyangkut etnis Tionghoa yang penulis temukan dari berbagai
sumber yang diantaranya: pemisahan pendidikan bedasarkan Ras dan pemisahan
tempat tinggal masyarakat Tionghoa dengan masyarakat pribumi.
Pemisahan
pendidikan
Pemerintah
Hindia Belanda mendirikan sekolah-sekolah untuk anak-ank Tionghoa. Sekolah ini
dengan sepenuhnya menerapkan sistem pendidikan Barat dan dengan bahasa
pengantar bahasa Belanda sekolah yang didirikan tahun 1908 ini diberi nama
Hollandch Chineesche Schooll, yang disingkat HCS[4].
Dengan di bukanya HCS maka sekolah-sekolah Belanda yang muridnya dikotak-kotak
bedasarkan ras, sesuai dengan politik segregrasi pemerintah Kolonial Belanda,
kini telah mengarah ke sistem pendidikan
Belanda tingkat lanjutan. Dengan begitu, sudah tidak ada kendala bagi
lulusan sekolah-sekolah tersebutbuntuk memasuki sekolah lanjutan yang lebih
tinggi.[5]
Di
atas tingkatan HCS, pemisahan bedasarkan Ras dalam pendidikan sudah tidak ada
lagi. Mungkin pemerintah Kolonial Belanda menganggap dalam level ini,
muirid-murid tersebut telah sepenuhnya mereka kuasai. Pada tahun 1914 sekolah-sekolah’’Meer
Uitgebreid Larger Onderwijs’’`(MULO) atau pendidikan rendah yang
diperpanjang atau SLTP didirikan untuk orang-orang Belanda, Pribumi golongan
atas, dan Tionghoa yang telah menyelesaikan sekolah dasar mereka. Pada tahun
1919 didirikan ‘’Algemeene Middelbare School’’ (AMS) semacam SLTA, bagi
murid-murid yang telah menyelesaikan Sekolah di MULO dan ingin melanjutkan
pedidikanya ke peguguruan tinggi.[6]
HCS
secara praktis merupakan sekolah Belanda untuk golongan etnis Cina hanya saja, tak satu pun orang Cina yang
bersekolah di situ. Di samping itu orang-orang Cina diizinkan memasuki
sekolah-sekolah Indonesia (HIS) dan Belanda. Sekolah HCS dan HIS sama saja,
kecuali berbeda landasan etnisnya, program pendidikannya sepenuhnya
berorientasi Belanda. Akan tetapi batas
perbedaan antara orang Cina yang memasuki HCS dan THHK[7]
tampaknya lebih bersifat sosial daripada budaya atau politik. Untuk dapat
memasuki HCS para orang tua perlu mempunyai pendapatan minimum 50 gulden
sebulan, yang tidak semua orang Cina mampu menyediakannya. Pendirian sekolah
HCS pada tahun 1908 menunjukkan semangat damai pemerintah Kolonial terhadap
keluhan orang-orang Cina. Satu demi satu maslah-masalah Cina diselesaikan oleh
pemerintah Kolonial.[8]
Pada
masa sesudah kemerdekaan pendidikan Anak-anak peranakan Cina mendapatkan Acuan
baru yang memasuki sekolah berbahasa pengantar (SBP) Indonesia. Dengan memberi
anak-anak ini model budaya yang baru sekolah-sekolah itu telah membantu
menciptakan suatu identitas budaya yang baru dikalangan generasi peranakan Cina
paska kemerdekaan. Dalam banyak hal, identitas budaya ini sangat berbeda dari
identitas para orang tua mereka yang dibesarkan dalam era Kolonial,
tatkala sistem pendidikan Belanda memberikan
dampak yang besar[9]
Antara
1950 dan 1966 SBP Cina swasta menawarkan suatu alternatif pendidikan bagi
anak-anak peranakan Cina yang orang tuanya
cenderung tidak suka mengirimkan
mereka ke SBP Indonesia. SBP Cina sangat berkiblat ke Cina daratan dan
kebudyaan Cina dan dengan demikian mempromosikan nilai-nilai budaya dan politik
yang berbida dari SBP Indonesia. Akibatnya, homogenitas budaya yang tampak
dibina antara peranakan Cina semasa
pendudukan Jepang sebagian besar buyar, dan terciptalah suatu perbedaan yang
mencolok antara pemuda peranakan Cina yang belajar di SBP Cina dengan mereka
yang belajar di SBP Indonesia. Kebijkan pemerintah Indonesia pada tahun 1957
dan 1966 telah membantu membangkitkan eksodus para pelajar Cina ke Cina
daratan. Kebanyakan para pelajar ini berasal dari SBP Cina.[10]
Sejak
1966 semua anak WNI Cina yang berempat tinggal di Indonesia diharuskan memasuki
sekolah-sekolah yang mengajarkan orientasi politik yang sama. Di semua sekolah
Indonesia baik negri maupun swasta, pelajran ‘’Pendidikan Moral Pancasila’’
wajib diajarkan sejak 1966. Suatu sistem pendidikan yang seragam dapat berbuat
banyak dalam menciptakan suatu identitas nasional yang sama di kalangan
penerimanya yang dalam hal ini adalah peranakan Cina dan pemuda pribumi
Indonsia. Namun, sama sekali bukanlah suatu kesimpulan yang pasti apakah
loyalitas penuh terhadap identitas ini
dapat dipertahankan melalui sistem pedidikan saja. Pengaruh-pengaruh
kuat lainya di dalam masyarakat, seperti Agama, lingkungan keluarga, penerimaan
sosial oleh komonitas yang lebih besar, dan efek positif maupun negatif dari berbagai kebijakan pemerintah dapat
melemahkan atau mengikis pengaruh pendidikan sekolah.[11]
Pemisahan
Tempat Tinggal
Pemukiman
kecil orang Cina sudah ada di Indonesia jauh sebelum kedatangan orang Eropa,
terutama di Bandar-bandar perdagangan di
sepanjang pantai utara pulau jawa. Ketika Belanda mementapkan kedudukannya di
Indonesia penduduk Cina bertambah banyak dan tersebar luas. Perubahan pesat
terjadi ketika para imigran Cina datang seiiring dengan meningkatnya kegiatan
Belanda.[12]
Pemerintah
kolonial Belanda telah membuat orang Tionghoa menjadi suatu golongan tersendiri
mereka tercerai dari golongan Bumiputera, tercerai dari golongan Belanda,
tercerai dari golongan Indo-Belanda, tercerai dari golongan bangsa asing yang
lain-lainnya. Sebab politik jajajahan yang dijalankan selalu memisah suatu
golaongan dengan golongan yang lainnya[13]
Sebagian
besar imigran Tionghoa yang menetap di
kepulauan Nusantara sebelum kekuasaan Kolonial Belanda berdiri terserap kedalam
masyarakat setempat akan tetapi pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 asimilasi
dengan masyarakat setempat benar-benar mustahil bagi orang-orang Tionghoa. Hal
ini terutama karena struktur masyarakat Kolonial dan kebijakan ‘’apartheid’’
Belanda.[14]
Di Hindia Belanda, penduduk dibagi kedalam tiga kelompok ‘’ras’’
dengan privelse dan hak-hak hukum yang berbeda: orang-orang Eropa di tingkat
paling atas, orang timur asing (terutama Tionghoa) di tingkat menengah dan orang-orang
‘’Pribumi’’ di tingkat paling bawah . inilah awal terciptanya sterotip tentang
orang Tionghoa sebagai kelompok yang
‘’homogen’’. Sebelum akhir abad ke-19, sekelompok orang Tionghoa mendapatkan
hak-hak istimewa untuk memonopoli kegiatan-kegiatan bisnis yang menguntungkan
tetapi ‘’amoral’’ misalnya seperti penjualan opium dan pengoperasian
tempat-tempat perjudian dan pengadaian. Hak-hak istimewa yang diberikan kepada
sekelompok orang Tinghoa ini turut andil dalam pembentukan sterotip bahwa orang
Tionghoa mendomonasi ekonomi.[15] Hal
tersebulah yang membuat kebencian terhadap etnis Tionghoa. Morfologi pemukiman
ini kemudian semakin berkembang sejak masa kolonial Belanda terutama ketika
diterapkanya sistem tiga kelas masyarakat (Eropa,Timur,dan Bumiputera) sehinnga
terbebtuk pola pemukiman yang juga terbagi atas tiga segmen tersebut.[16]
Dengan
kondisi seperti ini, bagi orang Tionghoa berasimilasi dengan masyarakat Pribumi
berarti merendahkan status sosial mereka serta bisa kehilangan hak-hakistimewa.
Kebebcian yang tersebar luas yang disebabkan oleh berbagai kebijakan Belanda
memisah-misahkan kelompok-kelompok masyarakat.[17]
Kesimpulan
Kebijakan
pemerintah Kolonial Belanda terhadap Etnis Tionghoa membeikan dampak yang sangat
signifikan terhadap perkembangan Masyarakat Tionghoa Saat ini, kebijakan
pemisahan Sekolah bedasarkan Etnis telah membuat mayarakat Tionghoa semaki jauh
dengan Pribumi dan membuat etnis Tionghoa lebih condong kepada negri nenek
monyangnya yang menjadi masalah disini
adalah etnis Tionghoa berada di pusan mayoritas masyarakat Pribumi.
Kebijkan yang membuat sebagian Tionghoa mendapatkan hak-hak
istimewa untuk memonopoli kegiatan-kegiatan bisnis yang menguntungkan tetapi
‘’amoral’’ misalnya seperti penjualan opium dan pengoperasian tempat-tempat
perjudian dan pengadaian kebijakan tersebut telah meletakan dasar bagi suksesnya
usaha etnis Tionghoa hingga saat ini
Daftar Pustaka
Chang-yau,
hoon, identitas Tionghoa pasca-Suharto-budaya, politik dan media,
Jakarta: LP3ES, 2005.
I.
Wibowo (Edtr), Haarga yang harus dibayar sketsa pergulatan etnis Cina di
Indonesia,Jakarta: Pt Garamedia Pustaka Utama, 2000.Leo
Suryadinata,(edtr) pemikiran
politiketnis etnis Tionghoa Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 2005.
Jennifer Cushman & Wang Gungwu,(edtr), Perubahan identitas Orang Cina di Asia Tenggara, Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 1991.
A, Coppel, Charles, Tionghoa Indonesia dalam krisis.
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994.
Suryadinata Leo(edtr), Pemikiran Politik etnis Tionghoa
Indonesia, Jakarta: LPEES, 2005.
Widyahartono, Bob, Kongsi dan Sepekulasi jaringan kerja
bisnis Cina, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989.
G. Tan, Mely,(edtr) Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia:
suatu masalah pembinaan kesatuan Bangsa, Jakarta: Gramedia, 1981..
Setiono Benny G., Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta:
TransMedia, 2008.
Onghokham, Anti Cina, kapitalisme Cina dan Gerakan Cina.
Sejarah etnisitas Cina di Indonesia, Jakarta: Komonitas Bambu, 2008.
Mona, Lohanda, Sejarah pembesar mengatur Batavia,
Jakarta: masup Jakarta, 2007.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/30248/3/Chater%20II.pdf
[1]
Justian Suhandinata, WNI Keturunan Tionghoa dalam Stabilitas Ekonomi dan
Politik
Indonesia, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama,
2008, hal. 10.
[2]
Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia dalam krisis, Jakarta, Pustaka Sinar
Harapan,1994,hal. 23.
[3]
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda ,Jakarta: LP3S, 1985 hal. 99.
[4]
Benny G. setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta:TransMedia,
2008. Hal 312.
[5] Ibid.
hal 336.
[6] Ibid.
hal 337
[7] Tionghoa
Hwe Koan sebuah organisasi Cina yang bertujuan untuk memajukan pendidikan Etnis
Cina, liahat. Benny G. setiono, Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta:TransMedia,
2008.
[8]
Onghokham, Anti Cina, kapitalisme Cina dan Gerakan Cina. Sejarah etnisitas
Cina di Indonesia, Jakarta: Komonitas Bambu, 2008. hal 160.
[9]
Jennifer Cushman & Wang Gungwu,(edtr) Perubahan identitas Orang Cina di Asia Tenggara, Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti, 199. hal 148
[10] Ibid,
hal 148.
[11] Ibid,
hal 149.
[12] I. Wibowo (Edtr), Haarga yang harus dibayar sketsa pergulatan
etnis Cina di Indonesia,Jakarta: Pt Garamedia Pustaka Utama, 2000. hal
194-165.
[13] Leo
Suryadinata,(edtr) pemikiran
politiketnis etnis Tionghoa Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 2005. hal 49-50.
[14]
Chang-yau, hoon, identitas Tionghoa pasca-Suharto-budaya, politik dan media,
Jakarta: LP3ES, 2005. hal 26.
[15] Ibid
hal 26
[17] Ibdi
hal 27.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar