oleh Muliyadi Iwan dan Mitra Zalaman
1. Riwayat Hidup
Ahmad
Syafii Maarif akrab dipanggil Syafii Maarif, dilahirkan di Sumpur
Kudus, Sumatera Barat, Indonesia, pada tanggal 31 Mei 1935 dari pasangan bapak
Marifah Rauf (1900-1955) dan ibu Fathiyah (1905-1937). Ia adalah anak bungsu
dari empat orang bersaudara. Ayahnya adalah orang terpandang di Sumpur Kudus yaitu
sebagai kepala suku Melayu dengan gelar Datuk Rajo Melayu dan merangkap sebagai
kepala Nagari yang dijabatnya hingga 1946. Semasa kecil, ia hidup dalam
lingkungan keluarga Islam yang tekun beribadah. Ia juga memiliki beberapa
kegemaran, seperti: olah raga tenis meja, bulu tangkis, catur, menonton sepak
bola dan menembak burung.
Pendidikan
formal yang pernah ditempuh Syafii Maarif dimulai di tingkat dasar yaitu
Sekolah Rakyat (SR) dan Madrasah Ibtidaiyah Sumpur Kudus (tamat 1947), kemudian
masuk ke tingkat menengah pertama Madrasah Muallimin di Balai Tangah, Lintau,
Sumatera Barat (1950-1953). Setelah itu, ia pindah ke Yogyakarta untuk
melanjutkan pendidikan menengahnya di Mualimin Muhammadiyah (tamat 1956).
Setelah itu, ia meneruskan pendidikan ke Universitas Cokroaminoto, Solo, dan
meraih gelar sarjana muda pada jurusan Sejarah Budaya (1964). Gelar sarjana
Sejarah ia peroleh di IKIP Yogyakarta (1968). Untuk menekuni ilmu sejarah, ia
kemudian mengikuti program master di Departemen Sejarah Universitas Ohio,
Amerika Serikat dan berhasil mengantongi ijazah Master (1980), dengan judul
tesis: Islamic Politics under Guided Democracy in Indonesia (1959-1965).
Atas jasa Amien Rais yang telah memperkenalkan dan memintakan rekomendasi
kepada Fazlur Rahman, Syafii Maarif diterima di Universitas Chicago, dan
berhasil meraih gelar doktor pada program studi Bahasa dan Peradaban Timur
Dekat, dengan disertasi: Islam as the Basis of State: A Study of the
Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in
Indonesia. Selama kuliah di Chicago, Syafii Maarif secara intensif juga
aktif melakukan pengkajian al-Qur‘an, dibimbing langsung oleh seorang tokoh
pembaharu pemikiran Islam yaitu Fazlur Rahman. Di sana pula, ia sering terlibat
diskusi dengan beberapa tokoh Indonesia seperti Nurcholish Madjid (Alm.) dan
Amien Rais yang juga sedang mengikuti program doktornya.
Aktivitas
yang pernah dilakoni Syafii Maarif sebagian besar bergelut di dunia akademik,
antara lain: mengajar di PGA Muhammadiyah di Lombok Timur selama satu tahun
(1956-1957), menjadi asisten dosen untuk mengajar Sejarah Indonesia Kuno
di FKIS IKIP Yogyakarta (sekarang UNY) dan asisten Sejarah Islam di UII
Yogyakarta (1967), Guru Besar Filsafat Sejarah di IKIP Yogyakarta
(1997), dan Dosen Pascasarjana IAIN Yogyakarta. Ia juga pernah tercatat sebagai
dosen tamu untuk mengajar mata kuliah Sejarah Perang Salib dan Islam
dan Perubahan Sosial di Asia Tenggara di Universitas Kebangsaan Malaysia
(1990-1992), dan pernah menjadi anggota Kelompok Pemikir Masalah Agama
Departemen Agama (1984). Selain itu, ia juga pernah aktif dalam berbagai
organisasi seperti: Anggota Muhammadiyah (1955), Anggota HMI (1957-1968),
Pengurus HMI Surakarta (1963-1964), Pejabat Sementara Ketua Umum PP
Muhammadiyah, dan menjabat Ketua Umum PP Muhammadiyah selama tujuh tahun
(1998-2005).
Di
sela-sela kesibukannya, ia tetap aktif menulis, di samping menjadi pembicara
dalam sejumlah seminar, baik dalam maupun luar negeri. Sampai akhir tahun 2005,
ia telah mengunjungi sejumlah negara untuk menjadi pemakalah, tenaga pengajar,
ataupun sebagai tamu undangan, di antaranya: Amerika Serikat, Singapura,
Malaysia, Thailand, Pakistan, India, Iran, Iraq, Jordan, Malata, Libia,
Inggris, Belanda, Australia, Saudi Arabia. Tulisan-tulisannya, sebagian besar
menyangkut persoalan-persoalan pemikiran keislaman dan telah dipublikasikan di
sejumlah media cetak seperti: majalah Panji Masyarakat, Suara Muhammadiyah,
Genta dan SKH Kedaulatan Rakyat Yogyakarta. Selain itu, ia juga
pernah menjadi korektor dan redaktur majalah Suara Muhammadiyah dan
sekaligus dipercayakan mengurus iklan majalah hingga 1972 di bawah pimpinan
alm. H.A.Basuni.
Kini,
dalam usia senjanya, Syafii Maarif tidak lagi memiliki kedudukan atau jabatan
formal, baik sebagai Ketua PP Muhammadiyah maupun sebagai PNS (dosen). Namun,
sebagai sosok intelektual muslim yang memiliki komitmen kebangsaan, kritis,
tegas, dan bersahaja, undangan sebagai pembicara dari berbagai kalangan dan
beragam latar belakang masih terus mengalir. Saat ini, ia bersama
istrinya Ny. Hj. Nurkhalifah dan anak semata wayangnya, Mohammad Hafiz, tetap
menikmati hari-harinya. Ia berharap di sisa akhir hidupnya, mampu menghasilkan
karya besar tentang Islam dan kemanusiaan, dan akan menjadi sumbangan besar
bagi peradaban manusia.
1.
Pemikiran
Pola
pemikiran Syafii Maarif banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Fazlur
Rahman setelah mengalami “pencucian otak” melalui kuliah dan berbagai diskusi
bersama Fazlur Rahman di Universitas Chicago, Amerika Serikat. Aspek pemikiran
Syafii Maarif yang perlu diketengahkan dalam portal ini, adalah: pemikirannya
tentang Islam, hubungan Islam dan negara, toleransi inter dan antar agama,
posisi perempuan dalam politik, dan perkawinan monogami dan poligami.
a.
Pandangan Syafii Maarif tentang Islam
Islam
bagi Syafii Maarif adalah sumber moral dan utama. Alquran adalah Kitab Suci
untuk memandang dunia secara jelas dan sebagai pedoman dan acuan tertinggi
dalam semua hal.
b.
Hubungan Islam dan Negara (Indonesia)
Dalam
kesempatan ini, penulis akan mendedahkan pandangan Ahmad Syafii Maarif tentang
hubungan Islam dan negara. Diskusi mengenai tema ini mencakup dua aspek, yakni
aspek normatif dan aspek historis.
Dengan mendiskusikannya, diharapkan dapat memperjelas bagaimana sesungguhnya
relasi Islam dan negara.
Menurut
Ahmad Syafii Maarif, secara doktrinal, Islam tidak menetapkan dan menegaskan
pola apapun tentang teori negara Islam yang wajib digunakan oleh kaum Muslim.
H.A.R. Gibb seperti dikutip Buya Ahmad Syafii Maarif, memaparkan bahwa baik
Al-Qur’ân maupun Sunnah tidak memberikan petunjuk yang tegas tentang bentuk
pemerintahan dan lembaga-lembaga politik lainnya sebagai cara bagi umat untuk
mempertahankan persatuannya.[1]
Terminologi
“kerajaan Islam”, “kesultanan Islam” atau “monarkhi Islam” menurut Buya Syafii
Maarif sebenarnya bersifat
kontradiktif di dalamnya. Monarkhi, kesultanan,
dan seterusnya tidak secara otomatis dapat menjadi Islam kendatipun menggunakan
embel-embel nama Islam. Ia juga mengkritik gagasan negara Islam. Menurutnya, gagasan
negara Islam tidak memiliki basis religio-intelektual yang kukuh, yang
berbicara secara teoretik. Terminologi negara Islam tidak ada dalam kepustakaan
Islam klasik. Dalam Piagam Madinah pun, terminologi ini tidak ditemukan. Gagasan
negara Islam (daulatul-islâmiyyah), menurutnya, merupakan fenomena abad ke-20.
Kendati demikian, Islam sangat membutuhkan mesin negara
untuk membumikan
cita-cita dan ajaran-ajaran moral.[2]
Al-Qur’ân yang penuh dengan ajaran imperatif moral, lanjutnya, tidak diragukan
lagi sangat membutuhkan negara sebagai institusi “pemaksa” bagi pelaksanaan
perintah dan ajaran moralnya.[3]
Argumentasi
Buya Syafii Maarif ini berangkat dari
asumsi bahwa Islam bukanlah sekedar cita-cita moral dan nasihat-nasihat agama
yang lepas begitu saja. Islam membutuhkan sarana sejarah untuk mewujudkan
cita-cita moralnya yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Sarana yang dimaksud
Buya Ahmad Syafii Maarif tidak lain adalah negara. Oleh karenanya, ia menolak
pandangan yang menghendaki pemisahan Islam dan negara. Menurutnya, di samping
tidak memiliki basis teoretis yang kuat, pendapat seperti itu dalam waktu yang
panjang akan berakhir menjadi kerja bunuh diri.
Buya
Ahmad Syafii Maarif menganggap bahwa semua aspek kehidupan tidak dapat
ditempatkan dalam kategori yang dikotomis, antara ibadah dan kerja sekuler.[4]
Dalam hal ini, ia sepakat dengan pandangan Ibnu Taimiyyah dalam kitab as-siyâsi
as-syar’iyyah yang mengemukakan bahwa negara (kekuasaan politik) merupakan sesuatu
yang penting bagi agama. Tanpa adanya negara, agama tidak akan tegak dengan
kukuh. Ibnu Taimiyyah menuturkan bahwa Allah mewajibkan amar ma’ruf nahî
munkar, jihad, keadilan, menegakkan hudûd, dan semua hal yang Allah wajibkan.
Hal itu tidak mungkin terealisasi dengan sempurna tanpa kekuatan dan kekuasaan.[5]
Menariknya,
sekalipun menyerukan pentingnya negara bagi Islam, tetapi Buya Ahmad Syafii
Maarif menolak tesis yang mengatakan bahwa Islam adalah dîn dan daulâh.
Sebagaimana telah penulis singgung di muka, tidak ditemukan landasan yang kuat
bahwa Islam adalah dîn dan daulâh, baik di dalam Al-Qur’ân, Hadis, maupun
Piagam Madinah. Apabila Islam merupakan dîn sekaligus daulâh, maka secara
otomatis menempatkan sejajar antara agama dengan negara. Dengan demikian mereka
yang meyakini Islam sebagai dîn sekaligus daulâh secara tidak sadar menempatkan
alat dengan risalah. Ia menilai tesis yang mengatakan bahwa Islam itu agama
sekaligus negara sebagai kekeliruan serius. Hal ini lantaran agama adalah sesuatu
yang immutable (tetap), sementara negara adalah sesuatu yang mutable (berubah)
sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu. Dengan menempatkan negara selevel
dengan posisi negara berarti mereka mengagungkan negara sama halnya dengan
mengagungkan agama.[6] Inilah
yang menjadi kekhawatiran Ahmad Syafii Maarif.
Menurut
Buya Ahmad Syafii Maarif, posisi Nabi Muhammad dalam Al-Qur’ân hanyalah sebagai
Rasul. Kendatipun tak dapat dipungkiri dalam rekaman historis, beliau pernah
menjadi pemimpin agama sekaligus pemimpin negara. Posisinya sebagai Rasul Allah
tidak pernah berubah sampai beliau wafat pada 632 M. Kedudukan Nabi Muhammad
sebatas Rasul Allah termaktub juga dalam Q.S. Surat Ali Imran: 144. Statemen
Al-Qur’ân bahwa “Muhammad hanyalah seorang Rasul” inilah yang kemudian yang
dijadikan argumentasi Buya Ahmad Syafii Maarif
untuk menolak tesis bahwa “Islam adalah agama dan negara”. Bagi Buya
Syafii Maarif, tesis bahwa “Islam merupakan agama dan negara” mengaburkan
hakikat yang sebenarnya dari posisi kenabian Muhammad SAW.[7]
Perspektif Buya Ahmad Syafii Maarif tentang relasi Islam dan negara di atas pastinya
berseberangan dengan pendapat para pengusung negara Islam dan formalisasi
Syariat Islam. Hal ini karena bagi mereka, Islam adalah agama sekaligus n e g a
r a . M a k a p e n d i r i a n n e g a r a I s l a m d a n p e m b e r l a k u
a n S y a r i a t I s l a m merupakan perintah Tuhan yang wajib dilakukan dan
dipandang sebagai amal saleh.[8]
Hal ini misalnya dapat ditilik dari pernyataan Muhammad Ismail Yusanto, Juru
Bicara HTI, yang menganggap pendirian negara Islam sebagai tuntutan akidah
Islam.[9]
Menurut
Buya Ahmad Syafii Maarif, aspirasi menjadikan Islam sebagai dasar negara yang
dilakukan para tokoh Islam di masa kemerdekaan jika dikaji lebih mendalam
sesungguhnya tidak jelas aspirasi Islam yang diperjuangkannya. Di matanya,
tidak gambang menempatkan Syariat Islam ke dalam mekanisme kehidupan politik
modern. Ia mencontohkan Pakistan sebagai negara Islam yang sampai sekarang
masih bingung menerapkan Syariat dalam kehidupan kenegaraannya. Dalam konteks ini, ia mengkritik para tokoh
Islam masa lampau yang menurutnya lebih mengutamakan wadah, yaitu menegakkan
negara berdasarkan Islam secara formal.[10]
Ketika
pertama kali mengikuti kuliah Fazlur Rahman di Chicago, Syafii Maarif pernah
berkata: “Professor Rahman, please give me one fourth of your knowledge of
Islam, I will convert Indonesia into an Islamic state”. Namun, setelah
mengikuti kuliah selama beberapa bulan, kalimat itu tidak pernah lagi diucapkan
karena sebutan negara Islam itu tidak diperlukan lagi. Yang terpenting adalah
moral Islam harus dijadikan sebagai dasar perilaku bagi masyarakat, jika memang
Indonesia ingin menjadi sebuah negeri yang adil dan makmur. Adapun perangkat
hukum-hukum Islam, dapat dikawinkan dengan sistem hukum nasional melalui proses
demokratisasi. Ia mengacu pada istilah Hatta yang berbunyi “janganlah
gunakan filsafat gincu, tampak tetapi tak terasa; pakailah filsafat garam, tak
tampak tapi terasa,”. Artinya, negara Indonesia adalah sebuah negara yang
berasaskan pancasila (bukan Islam), akan tetapi nilai-nilai moral Islam harus
selalu diketengahkan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat; meskipun
“negara Islam” tidak tampak, tapi moral Islam tetap dijalankan.
c. Toleransi inter dan antar agama
Syafii
Maarif mengakui bahwa ia mampu hidup berdampingan dengan pemeluk agama apapun,
bahkan dengan seorang atheis dengan syarat masing-masing pihak saling
menghormati secara tulus dan siap untuk hidup berdampingan secara damai di muka
bumi di atas prinsip: ”Bersaudara dalam perbedaan, dan berbeda dalam
persaudaraan”. Pemahamannya ini didasarkan pada Alquran dalam surah al-Baqarah:
256 dan surat Yunus: 99. Baginya planet bumi ini bukan hanya untuk satu
pemeluk agama saja, tetapi untuk semua. Semuanya punya hak yang sama untuk
hidup dan memanfaatkan kekayaan bumi ini di atas keadilan dan toleransi.
d.
Posisi perempuan dalam politik
Pendangan
Syafii Maarif tentang masalah kepemimpinan perempuan ini berdasarkan pada
Alquran surat al-Hujurat: 3 dan ayat-ayat lain yang saling mendukung,
yaitu berisi tentang terbukanya pintu kemuliaan di sisi Allah buat mereka yang
paling taqwa, laki-laki maupun perempuan. Seorang Muslim laki-laki dan
perempuan yang bertaqwa dijamin oleh ayat ini untuk meraih kemuliaan di sisi
Allah, asal diperjuangkan dengan sungguh-sungguh. Posisi pemimpin, laki-laki
maupun perempuan, akan menjadi mulia di mata rakyat jika ia bertaqwa dengan
menegakkan keadilan dan siap bekerja keras untuk meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran bersama tanpa pilih kasih. Menurutnya, pemimpin perempuan yang ideal
harus memenuhi syarat yaitu: memiliki kemampuan prima, bermoral, dan akan lebih
baik pasca usia 40 tahun, pada saat ia sudah banyak waktu untuk berkiprah di
bidang politik. Syarat lain yang harus dipenuhi adalah izin suami, sekiranya ia
masih bersuami.
e.
Sistem perkawinan monogami atau
poligami
Syafii
Maarif berkeyakinan bahwa sistem perkawinan yang benar menurut Alquran adalah
monogami. Poligami dibuka pada saat-saat yang sangat terpaksa dengan
syarat-syarat yang berat. Secara tersirat, dalam Alquran
surat Annisa: 3 terkesan selintas dibolehkan beristri lebih dari satu. Tetapi, kesan itu
akan berguguran jika dihubungkan dengan ayat 129 pada surat yang sama. Kalau
ayat 3 mensyaratkan berlaku adil terhadap istri-istri, namun ayat 129
menegaskan bahwa keadilan itu tidak mungkin, sekalipun sang suami ingin sekali
berbuat adil. Dengan memadukan kedua ayat ini, maka ia menyimpulkan bahwa
perkawinan dalam Islam adalah monogami, poligami hanya pada kasus-kasus yang
sangat darurat.
2
.
Karya-karya
Sebagai
sosok intelektual Islam, Syafii Maarif telah melahirkan beberapa karya berupa
buku yang telah dipublikasikan, yaitu:
- Mengapa
Vietnam Jatuh Seluruhnya ke Tangan Komunis, diterbitkan oleh
Yayasan FKIS-IKIP Yogyakarta (tahun 1975).
- Dinamika
Islam,
diterbitkan oleh Shalahuddin Press (tahun 1984).
- Islam,
Mengapa Tidak?,
diterbitkan oleh Shalahuddin Press (tahun 1984).
- Percik-Percik
Pemikiran Iqbal
(bersama M. Diponegoro), diterbitkan oleh Shalahuddin Press (tahun 1984).
- Islam
dan Masalah Kenegaraan, diterbitkan oleh LP3ES (tahun 1985).
- Titik-Titik
Kisar di Perjalananku: Otobiografi Ahmad Syafii Maarif, diterbitkan
oleh Ombak di Yogyakarta (tahun 2006).
- Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin(1959-1965),/
Jakarta: Gema Insani Press (1996).
[1] Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah
Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES,
1985), hal. 20
[2] Ahmad Syafii Maarif, Islam: Kekuatan Doktrin
dan Kegamangan Umat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hal. 60-62
[3] Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik:
Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Ter pimpin (1959-1965), (Jakarta: Gema Insani
Press, 1996), hal. 193.
[4] Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Politik…,
hal. 194.
[5] Ibid., hal. 133.
[6] Ibid., hal. 195-196
[7] Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah..,
hal. 14-1
[8] Adian Husaini, “Syariat Islam di
Indonesia..., hal. 65.
[9] Sigit Kamseno, “Komprehensivisme Dîn
al-Islâm: Kritik atas Konsep Kulturalisme dan Strukturalisme Islam”, Jurnal
Politik Islam, Vol. 1, No. 2, 2006, hal. 164.
[10] Ahmad Syafii Maarif, “Islam di Masa
Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin”, Prisma No. 5, Tahun XVIII, 1988,
hal. 26.
Follow @ajo_mizal